Dapatkan juga
Ikannya
“Buk...boleh gak aku jadi aktivis ?” tiba-tiba
pertanyaan itu terlontar dari bibir seorang anak kepada ibunya.
Seorang anak yang baru saja dinyatakan lulus dari
SMA, dan belum jelas pasti akan menjadi mahasiswa karena pengumuman hasil
seleksi penerimaan mahasiswa baru belum resmi keluar. Namun tekadnya untuk
menjadi seorang aktivis dakwah benar-benar
telah mantap.
Sang ibu hanya diam, dan telihat sedang berfikir.
“Jadi aktivis itu kegiatannya ngapain aja??” hal pertama yang terucap.
Dengan antusias, anak itu menerangkan panjang lebar
perihal kegiatan-kegiatan yang dilakukan seorang aktivis.
“Berarti sering pulang malam ya??, ya boleh, ibu
mengizinkan” tanpa berpikir lama setelah mendengar penjelasan dari sang anak .

Hari berlalu dengan begitu cepat. Aktivitas menjadi
mahasiswa dan beberapa kegiatan yang dilakukan bersama organisasi membuatnya
begitu sibuk dan sering pulang malam. Ketika sampai di rumah pun dia telah begitu
lelah hingga tak sempat berbagi cerita dengan ibu bapak. Alhasil ibulah yang
lebih sering menghampirinya di kamar, menanyakan kabarnya seharian ini,
kegiatan apa yang sedang dijalankan, kesulitan apa yang sedang dihadapi dan
berbagai hal yang tak satupun luput beliau tanyakan.
Sekarang disaat kita telah tenggelam dalam aktivitas
yang begitu menyibukkan, berkumpul dengan kawan-kawan seperjuangan,
mondar-mandir di forum syuro’ untuk mendiskusikan agenda-agenda dakwah, mari kita sejenak menoleh dan mencoba berada
di dunia Ibu.
Sejak awal kita meminta izin untuk memasuki dunia
dakwah ini, orangtua, khususnya lagi ibu menjadi orang yang paling merestui
dan bahagia. Bahagia karena melihat anaknya berjuang di jalan Allah. Betapa
bangganya beliau saat itu. Tapi sadarkah kita, sebenanya beliau menahan perih
di hati karena harus merelakan waktu bersama anaknya. Beliau sadar akan susah lagi
bersamanya ketika sang anak terjun sebagai aktivis, tapi beliau rela karena
waktu sang anak tidak lain dihabiskan di
jalan Allah. Sadarkah engkau disaat hari-harinya penuh dengan pekerjaan yang
melelahkan, ia sempat berharap suatu ketika saat anaknya sudah besar,
anak-anaknya akan dengan senang hati membantunya. Tapi semua itu harus rela ia
pendam, karena sang anak kini sibuk di jalan dakwahnya. Tahukah kamu di setiap
doanya selalu menyebut namamu, selalu mengharap kebahagian untukmu, selalu
mengharap keberhasilan bagimu, dan selalu ada tetes air mata rintihan rindu
kehangatan untuk bersama dengan anak-anaknya. Semuanya beliau pendam demi
Allah... ya sang anak kini sedang berjuang di jalan Allah. Setidaknya begitulah
pikiran yang ada dalam benak beliau.
Tapi kini mari kita kembali bercermin pada diri kita.
Sudah seperti apa diri kita?? Apa memang kita sudah melakukan seperti apa yang
diduga dan diharapkan orangtua kita? Sudahkah kita benar-benar berjuang dan
berkorban di jalan yang kita pilih ini?? Sudahkah kita berkorban sebagai mana
orangtua kita berkorban?
Rasanya malu sekali, ketika ternyata keikut sertaan
kita dijalan dakwah ini tidak kita maksimalkan peran serta kita di dalamnya.
Kita hanya sekedar menjadi anggota gerakan dakwah yang sekedar ikut syuro-rapat-
ini itu, tapi tidak pernah memberikan peran yang berarti. Alhasil, ada
atau tidak adanya diri kita akan dianggap sama saja. Seperti itukah seorang
pen-dakwah yang sesungguhnya???
Selalu meminta izin kepada orangtua untuk pulang terlambat dengan alasan ada
kegiatan dakwah, tapi dalam prakteknya kita hanya sebagai anggota pasif.
Yaaa... ibaratnya kita memutuskan untuk terjun ke kolam ikan tapi kita hanya
mendapat basahnya saja tapi tidak mau untuk berusaha mendapatkan ikannya,
sehingga bisa merasakan kelezatan daging ikannya.
Hmmmm... so ayo kita berusaha
mendapatan ikannya juga jangan puas hanya basah-basahan. Karena sejatinya
dakwah itu perlu bergerak dan begerak..aktif dan aktif lalu disanalah kita
melakukan perubahan, bukan hanya diam, ..diam..diam dan hanya diam. ^ . ^
0 komentar:
Posting Komentar