Dapatkan juga Ikannya

“Buk...boleh gak aku jadi aktivis ?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibir seorang anak kepada ibunya.

Seorang anak yang baru saja dinyatakan lulus dari SMA, dan belum jelas pasti akan menjadi mahasiswa karena pengumuman hasil seleksi penerimaan mahasiswa baru belum resmi keluar. Namun tekadnya untuk menjadi seorang aktivis dakwah benar-benar  telah mantap.

Sang ibu hanya diam, dan telihat sedang berfikir.
“Jadi aktivis itu kegiatannya ngapain aja??”  hal pertama yang terucap.

Dengan antusias, anak itu menerangkan panjang lebar perihal kegiatan-kegiatan yang dilakukan seorang aktivis.
“Berarti sering pulang malam ya??, ya boleh, ibu mengizinkan” tanpa berpikir lama setelah mendengar penjelasan dari sang anak .

Kurang lebih satu bulan setelahnya, dia dinyatakan diterima sebagai mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi. Dan benar, dia sungguh-sungguh dengan azamnya. Akhirnya dia menemukan Lembaga Dakwah Kampus, iapun mendaftar sebagai anggota di dalamnya. Dia sangat berharap bisa mengabdikan dirinya untuk bersama-sama berjuang di jalan dakwah. Jalan yang sangat ia harapkan bisa menjaga dirinya agar tetap istiqamah dan  juga bisa menjadikan dirinya menjadi hamba-Nya yang lebih baik lagi.

Hari berlalu dengan begitu cepat. Aktivitas menjadi mahasiswa dan beberapa kegiatan yang dilakukan bersama organisasi membuatnya begitu sibuk dan sering pulang malam. Ketika sampai di rumah pun dia telah begitu lelah hingga tak sempat berbagi cerita dengan ibu bapak. Alhasil ibulah yang lebih sering menghampirinya di kamar, menanyakan kabarnya seharian ini, kegiatan apa yang sedang dijalankan, kesulitan apa yang sedang dihadapi dan berbagai hal yang tak satupun luput beliau tanyakan.

Sekarang disaat kita telah tenggelam dalam aktivitas yang begitu menyibukkan, berkumpul dengan kawan-kawan seperjuangan, mondar-mandir di forum syuro’ untuk mendiskusikan agenda-agenda dakwah,  mari kita sejenak menoleh dan mencoba berada di dunia Ibu.

Sejak awal kita meminta izin untuk memasuki dunia dakwah ini, orangtua, khususnya lagi ibu menjadi orang yang paling merestui dan bahagia. Bahagia karena melihat anaknya berjuang di jalan Allah. Betapa bangganya beliau saat itu. Tapi sadarkah kita, sebenanya beliau menahan perih di hati karena harus merelakan waktu bersama anaknya. Beliau sadar akan susah lagi bersamanya ketika sang anak terjun sebagai aktivis, tapi beliau rela karena waktu sang anak  tidak lain dihabiskan di jalan Allah. Sadarkah engkau disaat hari-harinya penuh dengan pekerjaan yang melelahkan, ia sempat berharap suatu ketika saat anaknya sudah besar, anak-anaknya akan dengan senang hati membantunya. Tapi semua itu harus rela ia pendam, karena sang anak kini sibuk di jalan dakwahnya. Tahukah kamu di setiap doanya selalu menyebut namamu, selalu mengharap kebahagian untukmu, selalu mengharap keberhasilan bagimu, dan selalu ada tetes air mata rintihan rindu kehangatan untuk bersama dengan anak-anaknya. Semuanya beliau pendam demi Allah... ya sang anak kini sedang berjuang di jalan Allah. Setidaknya begitulah pikiran yang ada dalam benak beliau.

Tapi kini mari kita kembali bercermin pada diri kita. Sudah seperti apa diri kita?? Apa memang kita sudah melakukan seperti apa yang diduga dan diharapkan orangtua kita? Sudahkah kita benar-benar berjuang dan berkorban di jalan yang kita pilih ini?? Sudahkah kita berkorban sebagai mana orangtua kita berkorban?

Rasanya malu sekali, ketika ternyata keikut sertaan kita dijalan dakwah ini tidak kita maksimalkan peran serta kita di dalamnya. Kita hanya sekedar menjadi anggota gerakan dakwah yang sekedar ikut syuro-rapat-  ini itu, tapi tidak pernah memberikan peran yang berarti. Alhasil, ada atau tidak adanya diri kita akan dianggap sama saja. Seperti itukah seorang pen-dakwah yang sesungguhnya??? Selalu meminta izin kepada orangtua untuk pulang terlambat dengan alasan ada kegiatan dakwah, tapi dalam prakteknya kita hanya sebagai anggota pasif. 

Yaaa... ibaratnya kita memutuskan untuk terjun ke kolam ikan tapi kita hanya mendapat basahnya saja tapi tidak mau untuk berusaha mendapatkan ikannya, sehingga bisa merasakan kelezatan daging ikannya. 

Hmmmm... so ayo kita berusaha mendapatan ikannya juga jangan puas hanya basah-basahan. Karena sejatinya dakwah itu perlu bergerak dan begerak..aktif dan aktif lalu disanalah kita melakukan perubahan, bukan hanya diam, ..diam..diam dan hanya diam. ^ . ^